Rabu, 13 Januari 2010

suratan terakhir dari.. ku...


"bagaimana kondisinya dok?"
dokter tersebut menggelengkan kepalanya. wajahnya nampak pasrah. dokter tersebut memasukkan stetoskopnya ke dalam saku jubah putih sebelah kanannya. sedikit menepuk pundak tante Inge... dan pergi meninggalkannya begitu saja.
tante Inge... dia sedikit menangis. mengintip sedikit ke dalam ruangan, kemudian memasukinya.
sedang aku? mengintip dari balik lubang. tante Inge menggenggam tangannya kuat kuat. seakan mentransfer kekuatan untuknya. dan aku? menjatuhkan karangan bunga yang kubawa. kemudian lari menjauh. beserta tetesan mata yang tak tertahankan.


..............................
Bucha... panggilan sayang ku untuk Nadia Bunga Syafilia. Sahabat sejatiku.
Bukan satu, dua hari aku mengenalnya. Aku telah mengenalnya sejak aku di bangku sd. Kelas 3 SD tepatnya. Aku ingat... aku adalah anak yang badung waktu itu. Perilaku ku seperti anak tak punya rumah tak punya aturan. Penampilanku seperti anak laki-laki... ya.. aku ingat betul.
Aku yang murid pindahan dari sekolah buangan di pinggiran kota. Tiba-tiba saja pindah ke sekolah ternama yang terdiri dari berbagai murid cerdas, anak dari para pejabat mungkin. Yang kutahu waktu itu, itu adalah sekolah orang orang menengah ke atas.

Sedangkan aku? hanya seorang anak terbuang, yang baru saja ditemukan oleh orang tuanya. Yang telah kehilangan anak setelah delapan tahun lamanya. Dan aku? hidup menggelandang ke sana dan ke sini. Di pinggiran kota. Terkadang makan ataupun tidak. Dan merupakan suatu kebetulan yang memang sudah direncanakan Tuhan... kakek Tio dia yang merawatku sejak kecil mengenal salah satu kepala sekolah SD di pinggiran kota. Yang dapat memberikanku pendidikan yang layak melalui program murid berbakat waktu itu.

Ketika kakek Tio menghilang dari malamku waktu itu. Ketika ada pembersihan kota. Aku yang terbangun sudah berada di halaman mushola, terbaring tanpa alas. Tanpa siapapun. Kehilangan kakek Tio... aku masih ingat. aku menduduki kelas 2 sd waktu itu.

Hidupku sulit setelah kehilangan kakek Tio. Memang.. sebelumnya bukan berarti hidupku senang dan bermewah megah. Kami hanya gelandang kecil di tengah kota yang hidup nomaden karena tak punya tempat tinggal dan penghasilan yang jelas. Tetapi kakek sangat sayang padaku. Sehingga akupun tenang saja dengan kehidupanku. Sampai akhirnya aku harus menghadapi semuanya sendirian. Mengerti arti tak mengetahui siapa orang tuaku.
Ya... aku ditemukan kakek Tio di jalanan. Menurutnya, aku diletakkan oleh orang yang mengendarai motor, lalu dia melesat dengan cepat. Tak tau siapa dia. Tapi, kakek Tio selalu meyakinkanku... dia bukanlah orang tuaku.

Ketika itu... aku harus hidup sendirian. Mengejar prestasiku tanpa ada siapa yang menyemangati. Hanya sekolah yang kupunya. Agar aku dapat menemukan kakek Tio.. ataupun orang tua ku lagi.
Hingga akhirnya tak disangka.. aku dapat menemukan siapa orang tuaku itu.. ketika aku duduk di bangku kelas 2 sd. Ketika ada pemeriksaan darah bergilir.
Entah bagaimana, kedua orang asing itu meyakinkan aku. Bahwa akulah anak mereka. Mereka nampak asing bagiku. Mereka berdandan bagai ratu dan raja. Wangi bagai bunga. Dan mobil mereka mewah seperti istana.
Sungguh. Tiba tiba saja di tengah jam istirahatku, aku dipeluknya. Oleh seorang wanita tinggi, cantik, dengan rambut terurai dan gaun indahnya. Dia menangis memelukku. Mengelus rambutku dan sesekali mengecup keningku.

Dan aku... hanya teerdiam heran.

Siapa dia? wanita yang tak kukenal.

Seorang pria gagah di sampingnya pun ikut pula mengecup kepalaku. Menjelaskan kata-kata yang tak kumengerti. Tapi yang kutahu.. mereka meyakinkanku, bahwa aku adalah anak mereka yang telah lama hilang.

Akhirnya, mereka mengajakku.. menggandengku ke arah keluar sekolah. Sedikit berkata kepada para guru waktu itu. Dan akupun pergi dengan mobil mewah yang lebih mirip dengan istana bagiku. Mereka pun membawakanku baju, membelikanku segala yang kutunjuk. Dan juga, mendandaniku menjadi seseorang yang menurutku... bukan aku!
mereka membelikanku makanan.. makanan yang tak kuketahui makanan apakah itu. Dan tak pernah sekalipun kumakan sebelumnya.
Mereka hanya terkadang saja tertawa melihat aku makan. Dan tersenyum sambil kadang mengelap wajahku yang sepertinya ternoda sesuatu.

Aku... mulai nyaman dengan kehadiran mereka.

Mereka seseorang yang sangat baik di mataku. Akupun telah berhasil diyakinkan mereka, aku anak mereka yang hilang.

Akupun mulai saat itu... tidak hidup menggelandang lagi. Aku hidup mewah. Tidur di kamar dengan kasur cukup empuk dan kamar yang luar biasa luasnya. Berbagai mainan terdapat di sana. Tetapi sayang, tampaknya kedua orang tuaku kurang bersikap ramah atas segala tingkah laku ku.

Sehingga ketika itu.. mereka memanggilkan aku seorang guru dari sekolah kepribadian. Yang justru membuat aku semakin "liar". Sungguh guru itu sangat menyebalkan. Sehingga saking kesalnya aku. Aku memotong rambutku sendiri menjadi super pendek. Benar benar sangat pendek. Hanya agar membuat dia kesal.

Dan orang tuaku? mereka sibuk. Mereka pergi ke luar kota ataupun Negri. Aku dipercayakan oleh orang orang kepercayaan mereka.

Aku disekolahkan di sekolah ternama. Mutiara namanya. Seragamku tak lagi putih merah. Berubah menjadi blus hijau, dengan rok kotak kotak hijau pula. Sebenarnya aku menyukai penampilan baruku itu. Tapi.. aku sungguh tak suka kelakuan guru kepribadianku itu. Dia membuatku kesal. Sehingga aku melakukan sebuah kesalahan fatal, yang membuat pada hari pertama aku masuk. Banyak yang kurang menyukaiku. Kecuali Bucha...
Dia tersenyum padaku, menawarkan sebangku dengannya. Dan membantuku mengikuti kurikulum yang ada. Yah.. dia sahabat pertamaku. Yang terbaik.

Kami selalu bersama, hingga akhirnya kami duduk di bangku kuliah. Bucha... seorang cewe feminin dengan tinggi badan dan berat badan proporsional. Dan dia, sangat cantik dan santun. Jauh beda dengan diriku. Terkenal tomboy, belalakan, tak pernah rapih, dan terkenal "ceplas ceplos". Banyak yang mengatakan aku seperti anak lelaki. Tetapi, untung saja... tak satupun mengatakan aku ini "lesbian" dengan Bucha... aku takut dia akan menghindariku jika itu terjadi.

Lagi pula, kurasa tak semudah itu orang mengatakan hal tersebut kepadaku. Akupun yang begini mempunyai pacar. Entah apa tujuannya para cowo itu memacariku. Tapi yang jelas, itu cukup untuk membuktikan bahwa aku tidak lesbi.

Aku dan bucha sangatlah akrab. Selalu sharing bersama. dan dia tetap menjadi teman terdekatku.
Sampai akhirnya 3 bulan lalu dia menyuruhku untuk berdandan feminin, seperti harapan semua orang. Tetapi aku tak mau, sampai akhirnya kami baikan. Tetapi dia tak mau lagi bersamaku. Entah kenapa... mungkin dia masih marah?

Tapi... kuketahui belakangan ini. Bucha sakit... sakit parah... ibunya menangis di hadapanku. Aku tak kuasa melihatnya. Aku pergi begitu saja. Sampai pikiran bodohku muncul. Bucha hanya berpura pura. Tapi ternyata tidak. Dokter telah mengatakan segala halnya pada ibu Bucha... dan.. aku mendengarnya.

Bucha... maafkan aku.

..........

Mendengar hal tersebut, aku berlalri langsung ke arah mobilku. Menyuruh pak supir untuk segera membawaku ke salon. Untunglah... rambutku sudah sedikit panjang sekarang. sehingga sedikit banyak dapat dibentuk. Akupun membeli berapa helai baju untuk kupakai sehari hari. Aku ingin mengubah penampilanku. Aku ingin membahagiakan bucha!
Dia menginginkanku untuk feminin.. aku akan feminin..
dia menginginkanku untuk menjaga sikap.. akupun akan menjaga sikap...
Bucha.. sungguh aku akan memberikan sesuatu yang kupunya yang dapat kuberikan agar kau tersenyum dan sembuh!
Aku tak ingin apa yang dikatakan dokter itu terjadi... aku...

tak sanggup.


================

Bucha... hari ini boleh keluar dari rumah sakit. Aku dan beberapa temanku mengantarnya kembali ke rumah. Aku senang melihat reaksi bucha... ternyata dia menyadari perubahan perilakuku.

Menurut dokter.. umurnya tidak lama lagi. Setidaknya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Dan aku ingin membahagiakan sahabat kecilku itu sekarang. Yah. Kami sudah bersahabat lebih dari sepuluh tahun lamanya.

Kami kini... duduk di bangku kuliah. Di fakultas yang sama.

Bucha sakit. Tapi dia berusaha bersikap biasa. Mungkin dia menahan rasa sakitnya. Dia juga pergi ke kampus tanpa menunjukkan sedikitpun perbedaan. Walaupun terkadang dia terlihat pucat dan lemas.

Aku melihat bucha tidak tega. Begitu pula teman lainnya...

Beberapa kali,,, bucha bukannya memperhatikan kesehatannya.. justru memperhatikan sikap dan perilakuku. Dia mengkritikku dalam berbagai hal. Agar aku menjadi lebih baik. Mungkin... itulah yang ingin dilakukannya sebelum dia divonis memang sudah akan meninggal. Aku tak tahu.
Dan aku hanya menuruti saja keinginannya. Keinginan sahabat yang melebihi sahabat itu. Dia sudah seperti orang tuaku. Karena,., walaupun aku telah menemukan siapa orang tuaku.. Mereka jarang sekali di rumah. Apalagi mengurusiku. Dan aku.. anak tunggal mereka.

============

Hari ini adalah waktu control Bucha ke dokter. Aku semangat sekali menerima tawaran Bucha untuk menemaninya general check up. Ditemani pacarnya dan pacarku, aku mengendarai mobil Indra pacarnya ke arah rumah sakit.

Kali ini... dokter mengatakan ada sedikit harapan untuk Bucha sembuh. Aku bahagia. Tetapi, seusai mendengar hal baik itu.. sempat sempatnya Bucha bercanda "nda... tapi kamu gak akan berubah seperti dulu kan walau aku sembuh?".

aku sangat terkejut mendengar candaan Bucha saat itu. aku hanya dapat bisa berkata...
"bucha! apaan sih! jangan bercanda yang gitu ah.. aku kan takut. aku janji... aku berubah penyebab besarnya adalah harapan atas kesembuhanmu, dan berharap agar kau tersenyum. jadi... jangan pernah katakan hal seperti tadi lagi ya... aku sedih..."

Bucha tersenyum manis padaku. dan kamipun pergi keluar dari rumah sakit tersebut.

=========
Bucha membeli buah bersama Indra pacarnya. Mereka membeli buah di seberang jalanan. Aku percayakan Bucha pada Indra. Awas saja jika terjadi apa apa pada Bucha...
Sedangkan aku.. menunggu di pintu mobil bersama Ares.. pacarku.

Sampai akhirnya aku terkejut melihat Bucha.. jalan sendirian di tengah jalan besar dan hampir saja ditabrak oleh kendaraan besar...

Akupun berteriak dan ternyata tak sadar tubuhku ikut bergerak kemudian berlari ke arahnya "Bucha! awaaa."

"prang!"

bunyi pecahan kaca menggema ke dalam gendang telingaku. Dan seluruh jiwaku. Rasanya jiwaku tercabut mendapatkan bertemu kejadian yang baru saja terlewati. Aku tak tau harus bagaimana. Berbagai teriakan terdengar dari mana - mana. Dan aku sama sekali tak bisa berkata apapun.

Beberapa orang kudengar meneriakan namaku.
"nindraaaaa!!! ndaaa.....!!!"
histeris.

aku. tak tau. aku seperti berada di alam lain. Melihat jasadku sendiri berlumurkan darah. Melihat Bucha dan Ares menangis di hadapanku. Sedangkan segala perilakuku tak ada yang tau. Aku hanya terdiam tercengang.

dan... aku sadar. dan berkata untuk terakhir kalinya pada semuanya.

"mungkin ini adalah kalii terakhir aku berkata pada kalian... terima kasih sudah mencintai dan mau menerimaku apa adanya. sampaikan terima kasih dan maafku pada kedua orang tuaku. yang bahkan aku belum sempat memeluk mereka sekali lagi mungkin...
hubungi mereka...
kumohon...
dan untukmu Ares.. terima kasih sudah mencintaiku.
dan kau.. Bucha.. sahabat terbaikku. menurutku kau bukanlah sekedar sahabat biasa.. kau seperti Mentari yang menyinari gelapku. kau menunjukanku cara berperilaku dan bersantun dengan baik. Termasuk mengajariku untuk selalu rajin beribadah. Kau sudah seperti saudaraku., Bahkan orang tuaku... terima kasih Bucha...
kemarin.. kupikir kita akan berpisah. tapi ternyata kita bersama.. bahkan sampai aku pergipun. kau ada di sampingku.
tak kusangka.. justru aku yang pergi terlebih dahulu...
terima kasih bucha..
bahkan sampai saat terakhir hembusan nafasku pun.. sebelumnya kau sudah membuatku berhasil bertaubat dengan sukses... sungguh terima kasih..."


====Bucha====
Nindra... atau nda... sahabat kecilku yang seperti telah terbuang... mengatakan kata kata terakhirnya padaku. suratan terakhirnya padaku. Di atas pangkuanku. Dan aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa membimbingnya membaca dua kalimat syahadat untuk terakhir kalinya. Kemudian dia memejamkan matanya untuk terakhir kalinya.
Dia.. memberikan suratan terakhir yang sangat indah untukku. Perubahan yang sangat berarti... katanya berasal dariku. Padahal itu mungkin untukku. Karena sepertinya pun. Penyakitku mendadak sembuh. Dan aku... untukmu Nda... terima kasih.. atas surat berharga terakhirmu.


~end~


by:
Rr Wahyu Nurul Fitri R
Thursday, January 14th 2010
0:29 am

2 comments:

Anonim mengatakan...

Waah.. ceritanya sedih yaa..
Awal awal dikira si Bucha yang bakal meninggal, eh ternyata tokoh utamanya

Nurul mengatakan...

hehe. emang disitu klimaksnya :)
makanya namanya suratan terakhir.. apa yang kita kira menerpa orang lain kadang justru dateng untuk diri kita sendiri

Posting Komentar

Mohon kritik & sarannya yang membangun...
jangan menjatuhkan, ataupun semacamnya.
Terima kasih atas partisipasinya ^^

Related Posts with Thumbnails